Selasa, 07 Juli 2020

Algoritma : Patah Hati | IF-THEN-ELSE


Sudah sampai mana perkembangannya? Masihkah kau dipeluk penyesalan sebab tak segera mengungkapkan rasa yang kau rawat dengan sabar, tumbuh berkembang dengan baik, namun manisnya yang tak pernah kau nikmati? Algoritma percabangan itu sederhana, jika kau melakukan satu hal, maka sesuatu akan terjadi, kalaupun tidak, tentu saja hanya sekedar khayalan dan mimpi. Biarkan sejenak kronologi tadi mengingatkanmu bahwa penyesalan selalu datang terlambat.

Tentang sebuah pilihan, kita terjebak pada yang harus diputuskan. Bersegera atau akhirnya malah huru-hara pada persimpangan yang mengantar pada kebimbangan. Peta nurani yang menjadi tuntunan seharusnya merupakan kunci jawaban.

Algoritma berjalan berirama, pada fungsi yang melengkapi prosedur yang dideklarasi guna efisiensi

Perjalanan singkat hidup memberi kesan dan pelajaran, berumpama sebagai simulasi dari yang terisolasi menuntut adaptasi. Selesaikan misi dan ambisi di ujung destinasi.

Ambil keputusanmu, tentang kamu yang berharap antara menjadi kita atau kami, tentang memilih cinta dan cita-cita, atau sekedar hal sepele antara bubur yang bercampur atau tak berbaur.

Nyatakan saja, daripada akhirnya menyesal

Sebuah kalimat sederhana, namun sebenarnya membuatku penuh tanda tanya. Kok bisa ada orang yang mengatakan semudah itu? Barangkali dia beruntung, sekalinya menyatakan langsung diterima dan akhirnya jadian. Ada apa sih, sebenarnya?

 

Jika (ada sebuah kondisi) maka

(muncul pernyataan)

Kalaupun tidak

(ada pernyataan lain)

 

Ingatlah pada prinsip percabangan dalam kode pemrograman itu. Jika kau melakukan sesuatu ataupun tidak, maka akan ada konsekuensinya, dan itu berbeda. Jika kau nyatakan maka akibatnya bisa banyak, pertemananmu hancur, sikapnya yang seketika dingin dan akhirnya menjauh, dan dia membencimu. Tenanglah, konsekuensi buruk hanya akan kecil kemungkinan, sebab manusia juga punya hati. Kalaupun itu terjadi, bukankah manusia bukan hanya dia? Patut dipertanyakan tulus pertemanannya seperti apa, ataupun kabar baiknya dia akan kembali saat hatinya mulai menerima bahwa sebuah persahabatan lawan jenis tak mungkin terhindar dari sebuah rasa.

Sekarang, aku ceritakan kemungkinan baiknya. Semisal pada akhirnya di antara kalian sama-sama memendam rasa, dan saling mengiyakan untuk berkomitmen lebih dari sebatas teman. Hari itu, di tempat itu, mungkin di bawah rindang taman kota atau kafe yang bercita rasa klasik, akan menjadi momen paling menyenangkan dalam hidupmu. Menjalin sebuah hubungan yang suatu hari akan dibawa ke jenjang lebih serius. Mengkhayal dulu masih boleh, kan?

Namun, keindahan itu tak akan kau dapatkan jika kau hanya diam menunggu dia peka. Barangkali dia sudah melancarkan kode-kode padamu, yang jelas berbeda dengan bentuk kode yang selama ini kau tahu dan kau ketik di komputer, dan itu membuatmu tak menyadarinya. Kalian sudah berteman cukup lama, namun bukan berarti semua sudah terbuka dan mudah untuk mengatakan semuanya. Permasalahan hati itu soal pelik, lebih pelik dari sekedar menjawab “siapa yang lebih dulu hadir, ayam atau telur?”

Sebab pelik itulah, ada sekelompok kecil manusia yang berprinsip untuk tetap bertahan memendam rasanya. Sebenarnya mereka bukan memilih untuk terus-terusan memendam. Mereka hanya tidak mau mengambil risiko besar yang bisa saja menghancurkan dirinya sendiri ataupun orang yang dia sayangi. Perbandingan risiko setiap manusia berbeda, dan tidak pernah bisa dibandingkan. Namun, manusia juga punya kapasitas terbatas di mana dia tidak selamanya bisa mengambil jalan tengah. Dia akan memutuskan, apakah akan dinyatakan secara terbuka di hadapan, atau pelan-pelan mengikis harapan dan perasaan itu hingga habis.

 

***

 

Sekarang mari menelaah ceritamu.

Di pagi yang masih malu-malu menampakkan seluruh sinarnya, kabut pagi di kota masih terlihat menyelimuti sejauh mata bisa memandang langit. Gedung-gedung yang biasa tampak masih belum terlihat, hiruk-pikuk jalan tol di sebelah utara itu sudah terlihat. Sepertinya hari ini akan menjadi hari yang sibuk bagi sebagian manusia. Kamu? Sebenarnya ada rutinitas, berjumpa dengan seseorang yang mengajakku berkeliling kota hari ini.

Mantap sekali, seorang pemuda yang dikenal cupu dan culun hari ini akan diajak jalan dengan seorang perempuan. Hebat sekali, strategi apa yang dilakukan sampai-sampai seorang perempuan seperti dia mau denganmu? Respons orang-orang yang masih saja sinis saja denganku ketika mendengarmu yang akan berjalan berdua, berboncengan memeluk dari belakang, menggandeng tangan di bawah rindang pohon taman kota, atau saling suap-suapan di kedai makan favorit di pusat kota. Ah, bayangan itu belum pula dimulai namun sudah ke mana-mana.

Dia mengirim pesan di pagi itu,

“Masihkah aku terlena pada pelukan dingin pagi itu?”

Itu kau jawab sederhana, hanya tak mengecek pesan yang masuk pada telepon genggam. Segera bersiap diri, melawan kebiasaan setiap pagi jika tak ada kesibukan pagi yang menuntut. Air masih dingin hampir menusuk tulang, toh juga masih samar menatap ke arah kota di utara. Berpakaian cukup rapi, kemeja dan celana kain yang padu dan jaket tipis bertulis identitas almamater. “Ah, pantas kali aku memakainya.”

Disapa pagi oleh penjual bubur langganan di dekat rumah kos, mempertanyakan dirimu yang biasanya hanya mengenakan kaos dan sarung tiba-tiba serapi itu. Dengan percaya diri mengucap bahwa akan berjumpa dengan kekasih yang sudah lama terpisah jarak. Dan lagi-lagi, dia tak percaya yang kau katakan. Sudah sejak kapan dirimu ini punya kekasih? Tatapan sinis itu seolah mengajukan pertanyaan, yang hanya kubalas dengan senyum kecil. Sinis juga.

Motor kau siapkan, keluar dengan sumringah menembus jalanan yang sudah tak lengang di jam kerja. Kau menerobos segala aral melintang. Dengan semangat kau gesit menyalip menyelinap di antara kepadatan lalu lintas di protokol kota. Tak biasanya, rumahnya berada di sebuah pemukiman di pinggiran kota. Kau melesat dari pinggiran di selatan menuju timur. Peta kota di kamarmu yang sempat dihafalkan semalam kau ingat-ingat kembali. Jalanan terlihat asing, tapi kau tetap mengikuti alur perjalanannya. Hingga akhirnya berada persis di depan rumahnya, disambut oleh ibunya yang sedang menggendong cucu. Beliau sudah tahu bahwa kau akan datang hari ini, mempersilakan masuk dan meminta menunggu sejenak. Kau berharap hari itu cerah, bukan?

Dia keluar dengan berdandan rapi, geulis kalau kata orang Sunda. Menyalami ibunya yang duduk sembari memberi restu dan pesan agar berhati-hati di jalan. Cerita hari itu dimulai, kau berjanji untuk mampir mentraktir dia es krim di restoran favoritnya sambil bercerita tentang bagaimana menjalani kisahnya masing-masing selama rantau. Di tengahnya, ia ingin mengatakan sesuatu. “Kau mau bilang apa? Katakan saja”

“Tentang itu, maaf aku nggak bisa”

Kau mengingat kembali apa yang dahulu pernah terjadi, sesuatu yang mungkin sempat kau katakan kepadanya. Kemudian teringat bahwa kau pernah terpaksa untuk mengungkapkan perasaan. Terpaksa daripada terpendam dan menjadi lara tak berkesudahan. Ada aksi pasti akan menimbulkan reaksi.

Kau menatap ke arah jalanan yang tak terlalu ramai. Kau ingin berteriak, kau ingin misuh, tapi tak bisa. Ada banyak hal yang menjadi alasan mengapa kau memilih untuk memendam emosimu selain seputar tata krama dan kesopanan. Ingin marah namun pada siapa? Dia sudah mengambil keputusannya mengambil jalan lain, tak bisa kau tahan lagi. Kalau pada dasarnya tidak ada, mengapa harus diada-ada? Ketimbang menjadi beban di kemudian, alangkah baiknya bila jujur. Jujur ora bakal gawe ajur, sebuah pepatah yang pernah kudengar kala sekolah dulu.

Kau memaksa tetap tersenyum, menerima apa yang sudah terjadi. Dia mulai masam, tak enak jika kau benar-benar tidak dapat menerima keputusannya. Kau meyakinkannya, tak perlu risau soal hati. Cukuplah jika diberi waktu beberapa saat untuk menenangkan hati yang hancur seketika. Masih kuatkah menahan air mata? Ambyar.

 

***

 

Aku tahu, kau merasa semua yang kau perjuangkan itu terlihat sia-sia. Semua sakitmu kau teriakkan kala perjalanan pulang melintasi flyover panjang itu tanpa memedulikan pengendara yang menengok ke arahmu. Helm full-face yang kau kenakan cukup untuk menutupi air mata yang tak terbendung lagi. Tumpah membanjiri wajahmu. Lelaki yang harus terlihat kuat pada akhirnya takluk dan runtuh, ambyar tak peduli lagi soal gengsi di hadapan manusia. Senja di arah barat itu sudah tak dipedulikan, kau hanya melaju menyaksikan jalanan yang lengang. Berlalu tanpa menengok sejenak ke spion. Aku tahu, kau sangat berat saat itu, makanya aku sejenak mendiamkanmu sampai aku yakin kau agak mendingan.

Berbicara kembali pada orang yang logikanya sudah kembali memang mudah, namun masih perlu berhati-hati. Luka itu masih terbuka, bicara sembuh saja tak elok rasanya. Kau tiba-tiba menghampiriku yang sedang asyik menikmati segelas jus alpukat di tempat langganan. Kau memintaku untuk duduk sedang aku hendak pergi melanjutkan aktivitas, dan akhirnya aku takluk dengan memintamu berpindah tempat saja. Waktu itu aku malas merespon kau yang sedang patah hati, tapi aku dengarkan saja.

Mari sejenak tengok rentetan chat yang dulu pernah terjadi. Hampir setiap saat kau luangkan waktu untuknya, sekedar basa-basi hingga sayang-sayangan walau belum jadian. Ih, kok bisa segampang itu? Dan pada akhirnya bukan kau yang disayang, tapi diputuskan untuk dibuang. Bukan secara harfiah kau terbuang, tapi ketika dia menolakmu, pasti ada sesuatu yang menyebabkan dia memutuskan tak bisa menerimamu apa adanya. Sadar diri, introspeksi diri.

Sudah? Bagaimana?

 

“Sebuah penyesalan tidak akan memulangkan kesempatan kedua”

 

Habiskan saja penyesalan itu, dengan cara apapun selagi tidak merugikan orang lain. Berteriak sepanjang jalan yang kau takpedulikan tatapan orang-orang yang iba padamu, menangis di antara dua bantal yang menyerap suara tangis dan air matamu di kegelapan malam, atau sekadar datang ke peristirahatan orang tua yang telah lama bergandengan menyambut kepulangan menghadap keabadian silam. Tumpahkan semuanya, kelak kau akan tersenyum bahwa kau akan menyesali mengapa kau menangis, sedang bahagia sesungguhnya ada di tempat lain. Algoritma percabangan kembali berlaku setelahnya,

 

Jika (berbuat sesuatu) maka

(sesuatu terjadi)

Kalaupun tidak

(sesuatu juga terjadi)

 

Dalam sebuah posisi transisi, apakah kau akan tetap bertahan dengan perih itu kembali atau melangkah menikmati perjalanan hidup yang baru? Melangkahlah, sekecil apa pergerakanmu kau tetap harus bergerak meninggalkan harap yang membunuhmu. Bahkan jika kau benar-benar tak bisa bergerak, aku akan selalu ada membantumu melepas pelan-pelan ikat yang belum rela melepasmu. Kau akan selalu menemukan orang-orang yang tepat di saat kau hampir sekarat. Maka jangan lepaskan mereka yang membantumu berdiri hanya karena kau mengejar bahagia sendiri, suatu hari kau akan menyadari.

Lalu, kalaupun tidak bergerak aku akan kenapa? Aku tak tahu apakah ini pertanyaan dari lontaran orang-orang yang masih terikat pada kebodohan dan akal logisnya tertinggal di sebuah tempat ataupun mereka yang sudah benar-benar hampir menjemput grafik kurva tertinggi dari lelahnya jiwa. Yang pasti, dunia ini bergerak dinamis. Semakin kau tak bergerak, maka semakin tertinggal. Semakin sepuh namun kau masih dengan kolot menunggu rapuh. Kau tak berpikir ingin mengejar bahagiamu dan terus-terusan berada dalam lautan luka dalam?

Begini, sudah cukup lama aku mengamatimu yang telah mengarungi sekian ratus jarak dalam samudra asmara. Jatuh bangun pasti kau pernah rasakan, pelan-pelan kau menaruh sebuah perhitungan sambil bertaruh pada nasib yang disemogakan. Aku tahu tentang kegagalanmu, maka aku ingin kembali membawamu pada bibir pantai yang mempertemukanmu pada hangatnya fajar di pelupuk mata. Tanda untuk segera memulai hari yang baru, bahwa akan ada bahagia yang kau peluk dengan erat dan berkesinambungan. Dan aku berharap kau bisa berlari di daratan, kembali membangun mimpi yang pernah kau terbangkan lalu tenggelam sebab hampir remuk jiwa ragamu sebab apa yang disebut patah hati.

 

Selamat berjuang kembali, aku berharap kau telah pulih dan tanpa lirih.


Previous Post
Next Post