25 Agustus 2021. Di malam Kamis setelah penampilan apik di acara perhelatan ulang tahun SCTV yang berkolaborasi dengan grup band Noah di malam sebelumnya dan berlanjut di Indonesian Digital Awards 2021 oleh RCTI+, pihak manajemen JKT48 mengeluarkan sebuah pengumuman yang mungkin sudah pasrah ditunggu oleh para fans mengenai skandal yang menerpa dua member yang sedang naik daun, Yessica Tamara (Chika) dan Zahra Nur (Ara).
Diawali dengan live Instagram mendadak dari akun resmi JKT48 yang berisi klarifikasi yang disampaikan langsung oleh Chika dan kemudian disusul oleh pengumuman resminya di website. Mulanya, setelah pengumuman ini terlihat biasa saja. Suasana berubah drastis sekitar 5 menit kemudian, saat pihak manajemen juga mengeluarkan pernyataan mengenai Ara yang sedang menjalani masa penangguhan sebab kasus skandal foto yang pertama kali beredar sebelumnya.
Secara mengejutkan, JKT48 Operational Team (JOT) mengeluarkan pernyataan bahwa Ara sudah bukan lagi sebagai member JKT48, atau bahasa kasarnya dipecat. Yang mendorong JOT sebagai manajemen melakukan tindakan tersebut adalah klarifikasi pertama yang mengecewakan (re: berbohong) dan mengindahkan panggilan manajemen dalam jangka waktu tertentu yang dianggap sebagai tindakan indisipliner.
Artikel ini tidak akan membahas mengenai skandalnya, apalagi menyenggol grup sebelah. Penulis hanya mencoba menganalisis dengan ramainya pembahasan berita ini dengan pengaruh yang didapatkan oleh grup idola kesayangan kita, dan bagaimana kebiasaan media beserta netizennya dalam menanggapi skandal artis. Kita sebut saja skandal artis, kalau idol sepertinya kurang populer buat awam.
Bagaimana Media Dapat Merobohkan Nama Baiknya?
Cukup menarik bahwa kasus skandal member JKT48 diangkat di media-media besar. Karena sepengamatan penulis, walaupun dua member ini berhasil membawa fans baru di saat JKT48 sedang krisis pasca-restrukturisasi, namun keduanya tidak terlalu mencolok di kalangan publik awam. Mungkin Chika beberapa kali ikut tampil di media, namun tidak juga dengan Ara. Itu juga bukan garis depan.
Boro-boro kita bicara member seperti Shani, Gracia atau Feni, orang awam saja ketika mendengar JKT48 paling ya Melody, Nabilah, Haruka, atau juga Zara. Padahal mereka sudah lama tidak menjadi anggota grup ini. Dengan kasus yang seperti ini, tentu saja media-media yang mengejar trafik dan engagement ini akan menggunakan skandal ini untuk mengejar klik. Jika mengingat kebiasaan masyarakat kita yang lebih senang dengan berita-berita seperti ini. Belum lagi tentang bagaimana redaksi dari penulis yang sampai menghakimi perempuan tersebut. Penulis amati ada beberapa yang sampai pada level menghakimi. Sudah melenceng dari kaidah kepenulisan jurnalistik kalau semacam itu.
Berbicara psikologis, inilah aspek yang paling ditakuti penulis. Menjadi bahan perbincangan di kalangan fans saja sudah sangat berat, mengingat cacian, hinaan, dan hujatan pasti akan selalu ada. Kembali muncul sebagai figur publik pasti akan muncul bayangan mengenai masa lalu yang bisa dianggap kelam itu. Pasti ada saja yang membahasnya.
Apalagi kalau sudah sampai pada pembahasan media yang menjadikan informasi skandal ini tidak terbatas beredar di kalangan fans, namun mencapai orang-orang non-fans. Celakanya, bisa saja ini akan sampai di lingkaran terdekat dari member yang didepak tersebut. Tidak bisa membayangkan hujanan hujatan dan pertanyaan saat kumpul keluarga besar atau dikucilkan dari pergaulan.
Jejak digital ini bisa berbahaya juga di suatu hari nanti. Di tengah lingkungan yang lebih konservatif, hal semacam ini bisa saja menjadi tembok besar untuk melanjutkan mimpi-mimpi. Mungkin saja, jika akhirnya memilih menjadi orang biasa dan bekerja. Apakah ini bisa menjadi sandungan? Entahlah, penulis juga tidak paham bagaimana latar belakang dan riwayat seseorang mempengaruhi penerimaan kerja. Belum hal lain yang mungkin bisa terjadi akibat hal tersebut. Yang jelas, hal ini akan memberi dampak besar kepada dirinya, orang tua, dan keluarganya.
Namun apakah ini bisa dibaca demikian? Atau malah dengan pemberitaan besar-besaran ini akan menjadi sensasi awal untuk menaikkan namanya?
Membaca Dari Sudut Pandang Pemberitaannya
Paradigma bad news is good news sudah lama menjadi dilema. Penulisan di media-media besar tentu tidak terlepas dari industri. Dan industri bisa berjalan jika mereka bisa beradaptasi dengan pasar. Lihat saja bagaimana banyak berita-berita yang cenderung clickbait atau berisi gosip malah lebih laku. Dengan kebiasaan masyarakat yang menyukai berita pergibahan, tentu saja media akan lebih banyak memproduksi konten tersebut.
Selain itu, faktor psikologi manusia menurut Tom Stafford yang mengatakan bahwa hal buruk berkorelasi dengan insting ketakutan manusia. Konsekuensi dari hal tersebut manusia condong tertarik pada hal negatif dibandingkan dengan yang positif. Jika dihubungkan dengan topik pemberitaan, cukup masuk akal jika suatu media lebih condong menulis berita negatif. Dalam hal ini, memang pembaca lebih terikat kepada hal yang buruk atau negativity bias. Belum lagi soal Amygdala yang memicu rasa penasaran sehingga untuk memenuhi hasrat menjawab tanya, maka informasi-informasi seperti ini akan menjadi pelepas dahaga bagi pembaca yang penasaran.
Selain itu, karena gosip ini melibatkan figur publik. Idol bisa juga dikategorikan sebagai figur publik juga karena dia pasti akan sering tampil di hadapan banyak orang dan menjadi role model. Coba saja jika penulis yang kena gosip, tidak mungkin juga sampai pada level pemberitaan nasional. Kecuali kalau melibatkan figur publik sih…
Yang menarik saat mengamati linimasa, apakah naiknya berita skandal member ini adalah berita “pesanan”? Kalau mau cocoklogi sih masuk, mengingat produser grup sebelah memiliki relasi dengan salah satu korporasi media besar di tanah air. Apalagi beberapa media dalam penulisan berita tidak menjelaskan pria yang ada di foto skandal yang tersebar. Netizen sendiri sudah menuding dua member boyband sebagai oknum yang seharusnya juga bertanggung jawab.
Ada juga teori bahwa ini adalah upaya manajemen untuk cuci tangan dari segala keributan yang terjadi. Memang di grup sebelah tidak memiliki aturan anti cinta, namun jika didiamkan saja berarti si pria yang dimaksud dianggap tidak bertanggung jawab. Dengan beberapa pemberitaan yang tidak menyebutkan langsung dia, maka yang dihancurkan pasti karir perempuan tersebut tentunya. Meskipun banyak media yang menyebut terang-terangan nama boyband dan personil yang dimaksud walau dengan embel-embel “diduga” atau “dinilai netizen”.
Bagaimana menilai ini sebuah “pesanan”? Penulis masih menunggu counter-attack dari manajemen grup sebelah. Mengingat mereka sudah melakukan keteledoran melalui somasi terhadap akun yang pertama kali menyebarkan foto yang menjadi mula skandal tersebut. Mulai dari ngawurnya dasar hukum yang ditetapkan hingga serangan balik hak cipta yang belum terdaftar. Jika tidak ada berita konfirmasi balik, atau minimal ada headline yang menyampaikan mereka bungkam, tanda-tandanya terlihat cukup jelas. Langkah JOT cukup menarik, mungkin dengan pengalaman hampir 10 tahun mereka memilih untuk berhati-hati mengeluarkan statement. Oiya, foto penampilan di SCTV juga tidak menampilkan grup tersebut, bahkan di-crop.
Kasus skandal ini dinilai sebagai yang paling heboh, karena selain melibatkan insan dunia hiburan lain, katakanlah demikian, juga karena beritanya naik sampai ke media-media besar yang secara segmentasi lebih luas. Berita skandal seperti ini biasanya hanya berkutat di kalangan media yang memang berkaitan dengan grup saja. Yang penulis ingat adalah kasus skandal Vienny yang sampai diturunkan ke Academy. Untuk kasus Stefi dan Eve, penulis tidak terlalu paham karena saat itu sudah pensiun walaupun akhirnya balik lagi.
Jika ingin mencari berita positif tentang grup idola ibukota, coba tengok aja di JawaPos dengan penulis/editornya Bang Dhimas Ginanjar. Mungkin yang sering diundang sama PR-nya (memangnya ada?), yang lain jarang. Oiya, sepertinya beliau tidak membahas soal ini juga, atau sedang menunggu sesuatu.
Membaca Pendapat Netizen Sok Tahu
Bagian ini merupakan hal yang paling malas penulis bahas, pendapat netizen sok tahu. Stigma terhadap grup idola dan para penggemarnya sepertinya sudah sering didengar. Apalagi ditambah dengan sifat netizen tanah air yang suka nyablak tanpa filter, mentang-mentang mereka anonim. Pembahasan soal pertubiran dan netizen sudah pernah penulis terbitkan kemarin.
Soal aturan anti cinta. Banyak orang yang beranggapan bahwa manajemen terkesan lebay merespons talent-nya yang berpacaran atau ada yang sampai berkata bahwa manajemen sangat otoriter dan berkuasa terhadap kehidupan privasi member. Bukankah memang di grup ini sudah ada aturan anti cinta dan menjadi semacam salah satu bentuk branding-nya?
Beberapa mantan member juga pernah bercerita bahwa soal itu juga sudah masuk ke dalam kontrak. Artinya manajemen bukan berkuasa atas privasi mereka, namun soal profesionalitas atas kontrak yang disepakati. Ketika mereka melanggar, tentu ada konsekuensinya. Pada saat awal mendaftar pun, harusnya mereka sudah tahu budaya yang dilaksanakan di grup ini, semacam riset kecil lah. Masa hal sesimpel ini tidak dipahami para netizen? Eh, memangnya mereka komentar pakai mikir? *ups
Ada juga yang berpendapat bahwa kasus ini adalah kasusnya Zara, yang juga beberapa waktu lalu juga tersandung kasus sedot-sedot *HEH!*. Sudah bukan orang yang sama, juga karena tidak berkaitan sama sekali. Zara sudah keluar dan bahkan penulis yang saat itu masih pensiun pun tidak menyadari. Paling lucu soal Melody, katanya sudah nikah tapi masih di grup. Iya sih, tapi kan bukan sebagai member, tapi sebagai jubir andalan (status aslinya GM Teater, tapi yang muncul di media beliau terus. Anggap saja memang jubirnya).
Strategi Bisnis dan Sisi Positif Naiknya Skandal
Menarik juga ketika kita mengulik strategi bisnis di balik geger geden ini. Dari sudut pandang media ini berbicara mengenai click yang berdampak pada pemasukan yang didapat oleh media itu sendiri. Maka jangan heran jika kualitas berita seperti ini tidak sesuai ekspektasi. Kalau berharap kualitas berita yang lebih baik, berlangganan media yang kredibel saja. Mencari cuan memang susah…
Kalau berbicara manajemen, ranahnya sudah terlalu tinggi untuk penulis. Melihat sikap pasif JOT terkadang menyebalkan. Namun jika menilik ke belakang, JOT sering melakukan strategi dengan menggunakan momen yang pas untuk mengeluarkan pernyataan resmi. Pada skandal terbaru ini, bukankah fans sampai mlukok karena saking seringnya jadi pembahasan? Baru setelah dua acara on-air besar selesai, mereka baru mengeluarkan pendapatnya.
Cukup berkebalikan dengan manajemen grup sebelah yang sedari awal sudah geger sendiri dengan mengeluarkan somasi, termasuk kepada akun yang pertama kali menyebarkan isu skandal tersebut. Semula, hal ini menjadi apresiasi dari berbagai sisi. Namun, somasi tersebut malah menjadi blunder karena melibatkan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang entah apa yang dibawa oleh akun tersebut. Selain itu, dasar hukum yang dibawa juga dianggap ngawur sehingga malah berbalik “dirujak”. Sikap sang manajemen yang diam dan seolah melindungi membernya juga membangun kesan kalau mereka “bukan laki-laki” dan tidak bertanggung jawab. Ya, kalaupun mereka berbicara pasti bakal tetap ramai.
Satu pertanyaan muncul. Apakah kategori berita skandal ini ada sisi positifnya? Menurut penulis, sebagai social control. Jika berita korupsi, penyelewengan, dan hal-hal buruk pejabat bisa menjadi kontrol kebijakan pemerintah, begitu juga dengan skandal sebagai social control untuk member dan manajemen dalam mengelola kepercayaan fans. Bukankah isu dan tubir sudah seperti makanan sehari-hari di fandom ini?
Bagi manajemen sebelah, ini adalah social control terkait bagaimana menjaga attitude anggota dan pihak-pihak yang terlibat. Jangan sampai menjadi blunder dan menjadikan stigma negatif yang berdampak pada kelangsungan bisnis.
Kalau berbicara fans, penulis hanya berharap agar bersikap obyektif. Sifat sebagai seorang penggemar biasanya lebih fanatik, jadi ketika melihat sebuah masalah seringkali tidak melihat dengan kacamata obyektif dan hati-hati namun malah menggunakan cara-cara yang cenderung negatif seperti fitnah, logical fallacy, sampai report massal. Soal ini hanya kebijaksanaan individu menurut penulis. Ini juga berkaitan dengan ketika berhadapan dengan awam yang seringkali membawa stigma. Jika dihadapi dengan cara negatif, tentu bisa menjadi “pembenaran” dan berakibat pada preseden buruk bagi fans dan grup yang didukung.
Dan satu lagi untuk Ara dan keluarganya, walaupun tidak akan dibaca oleh mereka. Segala yang terjadi saat ini adalah kehendak dari-Nya. Mungkin ini adalah jawaban dari doa memohon perlindungan dan kebaikan yang selalu diminta di setiap sujud. Manusia tak luput dari salah, dan manusia yang baik adalah mereka yang belajar dari kesalahannya. Kalian tidak sendiri, Dia akan selalu ada mengulurkan bantuan dan mungkin dari perantara orang-orang yang selalu mendukung dalam kondisi apapun. Semoga kita semua selalu dirahmati oleh-Nya. Aamiin.