Jumat, 27 Agustus 2021

Sudah Jatuh, Tertimpa Reruntuhan Pula


25 Agustus 2021. Di malam Kamis setelah penampilan apik di acara perhelatan ulang tahun SCTV yang berkolaborasi dengan grup band Noah di malam sebelumnya dan berlanjut di Indonesian Digital Awards 2021 oleh RCTI+, pihak manajemen JKT48 mengeluarkan sebuah pengumuman yang mungkin sudah pasrah ditunggu oleh para fans mengenai skandal yang menerpa dua member yang sedang naik daun, Yessica Tamara (Chika) dan Zahra Nur (Ara).


Diawali dengan live Instagram mendadak dari akun resmi JKT48 yang berisi klarifikasi yang disampaikan langsung oleh Chika dan kemudian disusul oleh pengumuman resminya di website. Mulanya, setelah pengumuman ini terlihat biasa saja. Suasana berubah drastis sekitar 5 menit kemudian, saat pihak manajemen juga mengeluarkan pernyataan mengenai Ara yang sedang menjalani masa penangguhan sebab kasus skandal foto yang pertama kali beredar sebelumnya.


Secara mengejutkan, JKT48 Operational Team (JOT) mengeluarkan pernyataan bahwa Ara sudah bukan lagi sebagai member JKT48, atau bahasa kasarnya dipecat. Yang mendorong JOT sebagai manajemen melakukan tindakan tersebut adalah klarifikasi pertama yang mengecewakan (re: berbohong) dan mengindahkan panggilan manajemen dalam jangka waktu tertentu yang dianggap sebagai tindakan indisipliner.


Artikel ini tidak akan membahas mengenai skandalnya, apalagi menyenggol grup sebelah. Penulis hanya mencoba menganalisis dengan ramainya pembahasan berita ini dengan pengaruh yang didapatkan oleh grup idola kesayangan kita, dan bagaimana kebiasaan media beserta netizennya dalam menanggapi skandal artis. Kita sebut saja skandal artis, kalau idol sepertinya kurang populer buat awam.


Bagaimana Media Dapat Merobohkan Nama Baiknya?

Cukup menarik bahwa kasus skandal member JKT48 diangkat di media-media besar. Karena sepengamatan penulis, walaupun dua member ini berhasil membawa fans baru di saat JKT48 sedang krisis pasca-restrukturisasi, namun keduanya tidak terlalu mencolok di kalangan publik awam. Mungkin Chika beberapa kali ikut tampil di media, namun tidak juga dengan Ara. Itu juga bukan garis depan. 


Boro-boro kita bicara member seperti Shani, Gracia atau Feni, orang awam saja ketika mendengar JKT48 paling ya Melody, Nabilah, Haruka, atau juga Zara. Padahal mereka sudah lama tidak menjadi anggota grup ini. Dengan kasus yang seperti ini, tentu saja media-media yang mengejar trafik dan engagement ini akan menggunakan skandal ini untuk mengejar klik. Jika mengingat kebiasaan masyarakat kita yang lebih senang dengan berita-berita seperti ini. Belum lagi tentang bagaimana redaksi dari penulis yang sampai menghakimi perempuan tersebut. Penulis amati ada beberapa yang sampai pada level menghakimi. Sudah melenceng dari kaidah kepenulisan jurnalistik kalau semacam itu.


Berbicara psikologis, inilah aspek yang paling ditakuti penulis. Menjadi bahan perbincangan di kalangan fans saja sudah sangat berat, mengingat cacian, hinaan, dan hujatan pasti akan selalu ada. Kembali muncul sebagai figur publik pasti akan muncul bayangan mengenai masa lalu yang bisa dianggap kelam itu. Pasti ada saja yang membahasnya.


Apalagi kalau sudah sampai pada pembahasan media yang menjadikan informasi skandal ini tidak terbatas beredar di kalangan fans, namun mencapai orang-orang non-fans. Celakanya, bisa saja ini akan sampai di lingkaran terdekat dari member yang didepak tersebut. Tidak bisa membayangkan hujanan hujatan dan pertanyaan saat kumpul keluarga besar atau dikucilkan dari pergaulan.


Jejak digital ini bisa berbahaya juga di suatu hari nanti. Di tengah lingkungan yang lebih konservatif, hal semacam ini bisa saja menjadi tembok besar untuk melanjutkan mimpi-mimpi. Mungkin saja, jika akhirnya memilih menjadi orang biasa dan bekerja. Apakah ini bisa menjadi sandungan? Entahlah, penulis juga tidak paham bagaimana latar belakang dan riwayat seseorang mempengaruhi penerimaan kerja. Belum hal lain yang mungkin bisa terjadi akibat hal tersebut. Yang jelas, hal ini akan memberi dampak besar kepada dirinya, orang tua, dan keluarganya.


Namun apakah ini bisa dibaca demikian? Atau malah dengan pemberitaan besar-besaran ini akan menjadi sensasi awal untuk menaikkan namanya?


Membaca Dari Sudut Pandang Pemberitaannya

Paradigma bad news is good news sudah lama menjadi dilema. Penulisan di media-media besar tentu tidak terlepas dari industri. Dan industri bisa berjalan jika mereka bisa beradaptasi dengan pasar. Lihat saja bagaimana banyak berita-berita yang cenderung clickbait atau berisi gosip malah lebih laku. Dengan kebiasaan masyarakat yang menyukai berita pergibahan, tentu saja media akan lebih banyak memproduksi konten tersebut.


Selain itu, faktor psikologi manusia menurut Tom Stafford yang mengatakan bahwa hal buruk berkorelasi dengan insting ketakutan manusia. Konsekuensi dari hal tersebut manusia condong tertarik pada hal negatif dibandingkan dengan yang positif. Jika dihubungkan dengan topik pemberitaan, cukup masuk akal jika suatu media lebih condong menulis berita negatif. Dalam hal ini, memang pembaca lebih terikat kepada hal yang buruk atau negativity bias. Belum lagi soal Amygdala yang memicu rasa penasaran sehingga untuk memenuhi hasrat menjawab tanya, maka informasi-informasi seperti ini akan menjadi pelepas dahaga bagi pembaca yang penasaran.


Selain itu, karena gosip ini melibatkan figur publik. Idol bisa juga dikategorikan sebagai figur publik juga karena dia pasti akan sering tampil di hadapan banyak orang dan menjadi role model. Coba saja jika penulis yang kena gosip, tidak mungkin juga sampai pada level pemberitaan nasional. Kecuali kalau melibatkan figur publik sih…


Yang menarik saat mengamati linimasa, apakah naiknya berita skandal member ini adalah berita “pesanan”? Kalau mau cocoklogi sih masuk, mengingat produser grup sebelah memiliki relasi dengan salah satu korporasi media besar di tanah air. Apalagi beberapa media dalam penulisan berita tidak menjelaskan pria yang ada di foto skandal yang tersebar. Netizen sendiri sudah menuding dua member boyband sebagai oknum yang seharusnya juga bertanggung jawab.


Ada juga teori bahwa ini adalah upaya manajemen untuk cuci tangan dari segala keributan yang terjadi. Memang di grup sebelah tidak memiliki aturan anti cinta, namun jika didiamkan saja berarti si pria yang dimaksud dianggap tidak bertanggung jawab. Dengan beberapa pemberitaan yang tidak menyebutkan langsung dia, maka yang dihancurkan pasti karir perempuan tersebut tentunya. Meskipun banyak media yang menyebut terang-terangan nama boyband dan personil yang dimaksud walau dengan embel-embel “diduga” atau “dinilai netizen”.


Bagaimana menilai ini sebuah “pesanan”? Penulis masih menunggu counter-attack dari manajemen grup sebelah. Mengingat mereka sudah melakukan keteledoran melalui somasi terhadap akun yang pertama kali menyebarkan foto yang menjadi mula skandal tersebut. Mulai dari ngawurnya dasar hukum yang ditetapkan hingga serangan balik hak cipta yang belum terdaftar. Jika tidak ada berita konfirmasi balik, atau minimal ada headline yang menyampaikan mereka bungkam, tanda-tandanya terlihat cukup jelas. Langkah JOT cukup menarik, mungkin dengan pengalaman hampir 10 tahun mereka memilih untuk berhati-hati mengeluarkan statement. Oiya, foto penampilan di SCTV juga tidak menampilkan grup tersebut, bahkan di-crop.


Kasus skandal ini dinilai sebagai yang paling heboh, karena selain melibatkan insan dunia hiburan lain, katakanlah demikian, juga karena beritanya naik sampai ke media-media besar yang secara segmentasi lebih luas. Berita skandal seperti ini biasanya hanya berkutat di kalangan media yang memang berkaitan dengan grup saja. Yang penulis ingat adalah kasus skandal Vienny yang sampai diturunkan ke Academy. Untuk kasus Stefi dan Eve, penulis tidak terlalu paham karena saat itu sudah pensiun walaupun akhirnya balik lagi.


Jika ingin mencari berita positif tentang grup idola ibukota, coba tengok aja di JawaPos dengan penulis/editornya Bang Dhimas Ginanjar. Mungkin yang sering diundang sama PR-nya (memangnya ada?), yang lain jarang. Oiya, sepertinya beliau tidak membahas soal ini juga, atau sedang menunggu sesuatu.


Membaca Pendapat Netizen Sok Tahu

Bagian ini merupakan hal yang paling malas penulis bahas, pendapat netizen sok tahu. Stigma terhadap grup idola dan para penggemarnya sepertinya sudah sering didengar. Apalagi ditambah dengan sifat netizen tanah air yang suka nyablak tanpa filter, mentang-mentang mereka anonim. Pembahasan soal pertubiran dan netizen sudah pernah penulis terbitkan kemarin.


Soal aturan anti cinta. Banyak orang yang beranggapan bahwa manajemen terkesan lebay merespons talent-nya yang berpacaran atau ada yang sampai berkata bahwa manajemen sangat otoriter dan berkuasa terhadap kehidupan privasi member. Bukankah memang di grup ini sudah ada aturan anti cinta dan menjadi semacam salah satu bentuk branding-nya? 


Beberapa mantan member juga pernah bercerita bahwa soal itu juga sudah masuk ke dalam kontrak. Artinya manajemen bukan berkuasa atas privasi mereka, namun soal profesionalitas atas kontrak yang disepakati. Ketika mereka melanggar, tentu ada konsekuensinya. Pada saat awal mendaftar pun, harusnya mereka sudah tahu budaya yang dilaksanakan di grup ini, semacam riset kecil lah. Masa hal sesimpel ini tidak dipahami para netizen? Eh, memangnya mereka komentar pakai mikir? *ups


Ada juga yang berpendapat bahwa kasus ini adalah kasusnya Zara, yang juga beberapa waktu lalu juga tersandung kasus sedot-sedot *HEH!*. Sudah bukan orang yang sama, juga karena tidak berkaitan sama sekali. Zara sudah keluar dan bahkan penulis yang saat itu masih pensiun pun tidak menyadari. Paling lucu soal Melody, katanya sudah nikah tapi masih di grup. Iya sih, tapi kan bukan sebagai member, tapi sebagai jubir andalan (status aslinya GM Teater, tapi yang muncul di media beliau terus. Anggap saja memang jubirnya).


Strategi Bisnis dan Sisi Positif Naiknya Skandal

Menarik juga ketika kita mengulik strategi bisnis di balik geger geden ini. Dari sudut pandang media ini berbicara mengenai click yang berdampak pada pemasukan yang didapat oleh media itu sendiri. Maka jangan heran jika kualitas berita seperti ini tidak sesuai ekspektasi. Kalau berharap kualitas berita yang lebih baik, berlangganan media yang kredibel saja. Mencari cuan memang susah…


Kalau berbicara manajemen, ranahnya sudah terlalu tinggi untuk penulis. Melihat sikap pasif JOT terkadang menyebalkan. Namun jika menilik ke belakang, JOT sering melakukan strategi dengan menggunakan momen yang pas untuk mengeluarkan pernyataan resmi. Pada skandal terbaru ini, bukankah fans sampai mlukok karena saking seringnya jadi pembahasan? Baru setelah dua acara on-air besar selesai, mereka baru mengeluarkan pendapatnya.


Cukup berkebalikan dengan manajemen grup sebelah yang sedari awal sudah geger sendiri dengan mengeluarkan somasi, termasuk kepada akun yang pertama kali menyebarkan isu skandal tersebut. Semula, hal ini menjadi apresiasi dari berbagai sisi. Namun, somasi tersebut malah menjadi blunder karena melibatkan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang entah apa yang dibawa oleh akun tersebut. Selain itu, dasar hukum yang dibawa juga dianggap ngawur sehingga malah berbalik “dirujak”. Sikap sang manajemen yang diam dan seolah melindungi membernya juga membangun kesan kalau mereka “bukan laki-laki” dan tidak bertanggung jawab. Ya, kalaupun mereka berbicara pasti bakal tetap ramai.


Satu pertanyaan muncul. Apakah kategori berita skandal ini ada sisi positifnya? Menurut penulis, sebagai social control. Jika berita korupsi, penyelewengan, dan hal-hal buruk pejabat bisa menjadi kontrol kebijakan pemerintah, begitu juga dengan skandal sebagai social control untuk member dan manajemen dalam mengelola kepercayaan fans. Bukankah isu dan tubir sudah seperti makanan sehari-hari di fandom ini?


Bagi manajemen sebelah, ini adalah social control terkait bagaimana menjaga attitude anggota dan pihak-pihak yang terlibat. Jangan sampai menjadi blunder dan menjadikan stigma negatif yang berdampak pada kelangsungan bisnis.


Kalau berbicara fans, penulis hanya berharap agar bersikap obyektif. Sifat sebagai seorang penggemar biasanya lebih fanatik, jadi ketika melihat sebuah masalah seringkali tidak melihat dengan kacamata obyektif dan hati-hati namun malah menggunakan cara-cara yang cenderung negatif seperti fitnah, logical fallacy, sampai report massal. Soal ini hanya kebijaksanaan individu menurut penulis. Ini juga berkaitan dengan ketika berhadapan dengan awam yang seringkali membawa stigma. Jika dihadapi dengan cara negatif, tentu bisa menjadi “pembenaran” dan berakibat pada preseden buruk bagi fans dan grup yang didukung.


Dan satu lagi untuk Ara dan keluarganya, walaupun tidak akan dibaca oleh mereka. Segala yang terjadi saat ini adalah kehendak dari-Nya. Mungkin ini adalah jawaban dari doa memohon perlindungan dan kebaikan yang selalu diminta di setiap sujud. Manusia tak luput dari salah, dan manusia yang baik adalah mereka yang belajar dari kesalahannya. Kalian tidak sendiri, Dia akan selalu ada mengulurkan bantuan dan mungkin dari perantara orang-orang yang selalu mendukung dalam kondisi apapun. Semoga kita semua selalu dirahmati oleh-Nya. Aamiin.

Kamis, 26 Agustus 2021

Mereka yang Hidup dari Pertubiran


Sosial media seringkali tidak lepas dari namanya keributan. Apapun masalahnya, mulai dari konteks umum seperti soal agama, politik, atau bahkan urusan-urusan sepele seperti bubur diaduk atau enggak, bakso pakai saus atau putihan, dan lain sebagainya. Tidak hanya pada ranah yang bersifat umum, sosial media juga memiliki “lingkaran-lingkaran” tertentu yang dibatasi oleh kesamaan cara pandang, minat, ataupun ketertarikan. Ini juga bisa masuk dalam pembahasan mengenai penggemar sebuah grup/idola tertentu, yang bahkan mereka bisa memiliki keributannya tersendiri.


Ya, ketika artikel ini ditulis, sebagaimana yang kalian tahu bahwa tidak ada pertunjukan teater selama pelaksanaan PPKM dan kegiatan menjadi sangat terbatas. Hari-hari yang sepi membuat orang-orang mulai mencari sesuatu, termasuk bagi orang-orang yang gabut untuk memancing keributan di tengah kebosanan akibat tiadanya kegiatan inti dari sebuah grup saudara dari Jepang satu ini. Lalu, bagaimana melihat fenomena geger geden dalam fandom ini?


Mengapa Budaya Ini Berkembang?


Anggapan mengenai penduduk Indonesia yang ramah memang patut untuk dibanggakan. Pada kenyataannya, warganet Indonesia memiliki kultur yang bertolak belakang dengan dunia nyata. Contoh yang paling sering terjadi adalah kebiasaan menyelam ke postingan lama orang yang “diserang”. Jika berbicara di ranah Twitter, mungkin biasanya warganet akan mencari sesuatu di tab likes. Bisa jadi kan menemukan sumber link baru yang bisa dijadikan bahan perundungan. Bisa juga tweet lawasnya yang bisa saja akan menjadi bumerang untuk pihak yang dilawan. Hal tersebut juga bisa dilakukan di platform lain semisal Instagram atau Facebook.


Atau juga yang sering dilakukan adalah doxing. Kebiasaan membuka data pribadi yang dianggap dapat membungkam pihak yang dilawan. Dengan memanfaatkan celah keterbukaan data yang kebablasan di negeri ini, para stalker dapat menemukan data-data sensitif secara mudah. Mulai dari domisili tempat tinggal, tempat kerja atau sekolah, hingga nama keluarga yang tidak ada sangkut paut dengan kasusnya.


Sosial media memang seringkali dianggap sebagai ranah pribadi yang bisa saja menganggap bahwa media sosial adalah tempatnya untuk menemukan kebebasan untuk menyampaikan apapun. Sayangnya, hal tersebut tidak diiringi dengan sikap bijaksana, bahkan berdalih kebebasan pendapat jika “diserang”.


Jika berbicara karakteristik pengguna Twitter, yang seringkali memunculkan mula topik pertubiran, terlihat berbeda jika dibandingkan dengan pengguna platform media sosial lainnya. Namun, kebanyakan jika di Twitter, pengguna ingin menunjukkan sisi personalnya yang tidak ingin dilihat jika dibandingkan dengan Facebook ataupun LinkedIn.


Ekspektasi bahwa orang Indonesia dikenal sebagai orang-orang ramah akan runtuh seketika jika pernah berhadapan dengan warganet Indonesia. Microsoft, melalui risetnya juga menilai bahwa warganet Indonesia dianggap tidak sopan bahkan menjadi juara di regional Asia Tenggara. Dengan akun yang menunjukkan sisi lain dan kadang juga bersifat anonim, mereka seringkali mengomentari hal-hal yang tidak disukai dengan “lantang”. Mungkin dengan faktor anonim ataupun jarak yang membuat pemilik akun tersebut merasa aman. 


Dengan kultur warganet yang demikian, beberapa orang memanfaatkan hal tersebut sebagai salah satu cara untuk meningkatkan pamor dan popularitas mereka ataupun pihak yang mereka bawa. Di kalangan fans, mungkin dari situ mereka berharap waro dari member atau staf agar mereka terlihat dan dikenal. Warganet mungkin akan membenci dan menghujat habis-habisan pihak yang dirundung, namun percakapannya bisa memicu pembahasan yang akan menaikkan engagement dari pihak yang dirundung.


Misalkan dalam kasus bentrok daring yang baru saja terjadi. Seorang anggota grup, sebut saja A, diketahui berpacaran dengan B, yang dimana diketahui si B bekerja pada perusahaan yang melarang anggotanya untuk memiliki hubungan percintaan. Suatu saat, foto keduanya tersebar dan menjadi perbincangan di lingkaran tertentu. Karena melibatkan A, tentu saja A akan terseret dan merembet hingga ke tempat kerjanya.


Tempat kerja si A tersebut, mungkin dengan cerdiknya, memanfaatkan trafik yang melonjak tiba-tiba itu dengan mempromosikan apa yang ia punya. Tentu saja, dengan cara tersebut mereka akan terciprat trafik yang memanfaatkan kata kunci yang ramai tersebut. Bisa juga, ketika pihak yang terkait dengan B dengan asyiknya “merujak” konten yang dianggapnya penuh kebohongan juga dapat menjadikan pembahasannya lebih luas dan berdampak pada banyaknya orang yang tahu soal A dan tempat kerjanya.


Dampaknya? Followers dan engagement akun akan naik, dan tentu saja akan mengundang uang melalui kerjasama atau endorsement yang menghampiri. Yang rugi menghujat siapa, yang untung secara popularitas dan pendapatan juga siapa.


Ada yang beranggapan bahwa salah satu indikator popularitas adalah dengan tersebarnya isu skandal dari sumber yang tidak jelas.


Bentar, bukankah itu kejadian nyata? Hehe...


“Wota” sebagai Gambaran Kecil Warganet Indonesia


Hal pertama yang disoroti penulis pertama kali adalah bagaimana ketika orang-orang di dalam lingkup ini sering menyerang ke personal yang ingin menyampaikan pandangannya. Semisal, saat seseorang menyampaikan pendapatnya mengenai benefit MVP Online atau fans baru jalur FYP yang dianggap “rusuh”, sikap yang terjadi malah serangan balik tanpa menggunakan argumen yang valid.


Kebanyakan yang muncul malah hal-hal yang menyimpang dari logika, cenderung sebagai logical fallacy. Mulai dari ad hominem (menyerang dengan hal-hal negatif), red herring (pengalihan pembahasan), dan lain sebagainya. Menyerang secara no mention ini juga merupakan contoh dari bagaimana sebagian oknum di fandom ini menyerang personal yang dianggapnya berbeda pandangan. Penulis rasa fanatisme ini pasti akan menimbulkan hal-hal semacam ini. Contoh ini tidak hanya terlihat di fandom-fandom grup idola, orang-orang di luar sana yang fanatik pada seorang tokoh ataupun suatu pandangan juga melakukan hal yang sama.


Dari pengamatan penulis, di dalam fandom juga sering meributkan hal-hal sepele semacam akun anonim yang menghujat grup atau idola. Lucunya, akun-akun pemantik keributan yang seharusnya tidak perlu direspons malah diberi lapak dan menjadi bahan rujakan. Dan ini terjadi sudah cukup lama. Beberapa orang berpikir, seharusnya hal tersebut dibiarkan saja sehingga tidak akan memicu keributan. Namun, ada beberapa faktor yang membuat penulis berpikir bahwa keributan ini terkadang ‘diperlukan.’


Contoh paling segar adalah fenomena sebuah akun Instagram yang sering menjadi bahan perbincangan di fandom. Bukankah akun itu sering diserang karena selalu mengedepankan idealismenya dalam konsep idola menurut pandangannya? Keramaian itu muncul ketika banyak orang merespons dan membicarakannya di media sosial sebelah.


Masalah semakin runyam ketika muncul ketidakpercayaan. Saat akun tersebut memantik ketidakpercayaan tersebut dengan isu skandal. Apa tidak terbakar linimasa di akun-akun fandom? Salah satu pemicunya memang ketidakpercayaan, namun mencoba ‘memusnahkan’ mereka juga tidak menyelesaikan masalah. Apakah sesuatu akan diselesaikan dengan “viral-based policy” saja? Ketika sebuah keputusan diambil hanya berdasarkan keributan yang terjadi di khalayak. Soal ini, penulis memilih untuk hanya mengamati saja, tidak mau banyak berkomentar.


Pemantik keributan juga tidak hanya dari kalangan penggemar atau pembenci saja. Kadang juga para membernya sendiri lah yang memicu keributan. Hal yang jamak terjadi adalah tentang “suara” yang mereka keluarkan di media sosial. Mulai dari cuitan yang dianggap menyinggung fans yang menonton langsung di teater sampai kasus si pelupa yang dianggap memiliki fanservice buruk. Staf pun terkadang tidak menunjukkan sikap yang baik walaupun di akun pribadi mereka. Mulai dari menganggap biasa ‘tubir’ tanpa introspeksi hingga merendahkan fans. Hal tersebut juga berlaku ke mantan member. Walaupun telah lulus/keluar, biasanya kalangan fansnya juga masih pada lingkup yang sama, sehingga ketika eks-member “ditubir”, tentu saja yang panas ada di linimasa fandom “almamater”-nya.


Belum lagi kebiasaan buruk dalam merespons komentar negatif. Komentar negatif malah cenderung dinaikkan dan seolah menunjukkan bahwa mereka juga turut menjual kesedihan. Bukannya mendapat simpati, kebanyakan respons yang muncul adalah hujatan. Tidak sepenuhnya salah, tapi menurut penulis itulah sumber masalahnya. Jika tidak direspons, mungkin ksatria papan ketik itu akan bosan dan berhenti menulis di kolom komentar.


Selain hal-hal yang disebutkan di atas, terkadang tingkah laku oknum ini juga membahayakan. Semisal terkait rating buruk di akun toko resmi yang disebabkan karena Birthday T-shirt dari member yang punya skandal. Jika menilik sistem kerja e-commerce tersebut, hal tersebut beresiko mematikan toko yang bahkan tidak bersalah apa-apa dan mengakibatkan salah satu pundi cuan manajemen akan hilang. Pernahkah terpikir sampai di sini? 


Selain itu, ada juga yang salah dalam melampiaskan emosinya. Ada yang serangan dan hujatan mengenai skandal malah salah arah ke eks-member yang sudah lama lulus atau orang awam yang bahkan tidak mengerti apa-apa mengenai keributan yang terjadi. Mirip sekali dengan gambaran warganet kita dalam melihat sebuah peristiwa dan langsung saja menyerang padahal tidak ada hubungan apapun. Ini mirip kasus pimpinan sebuah startup yang menjadi pelaku tabrakan namun salah arah dalam menyerang rating aplikasi yang tidak ada kaitannya. Penulis lupa persisnya itu kapan dan siapa.


Menariknya, ketika fandom ini berulang kali mengalami perpecahan dengan keributan internalnya, mereka justru dengan mudah bersatu ketika menghadapi “musuh” dari luar. Mulai dari kasus dokter yang berkomentar soal pedofil, serangan publik terhadap kelakuan eks-member, hingga kasus skandal dengan grup sebelah. Belum lagi jika fanbase memiliki project merayakan sesuatu untuk oshimen mereka. Entah itu show, birthday project, sampai graduation. Selain itu, mereka juga sering menaikkan trending yang terkesan seperti guyonan belaka. Mulai dari candaan Twitter Space sampai menyemangati fans yang tidak diingat oshi. Oiya, belum lagi kebiasaan menjadikan tweet yang dihujat menjadi template di tweet mereka.


Maka tak heran jika ada istilah “fandom yang tak pernah tidur” yang mempresentasikan bahwa selalu saja ada hal yang dibahas setiap hari. Terkadang penulis heran, ketika ngidol di fandom ini bisa menghabiskan uang yang tidak sedikit, tentu pandangan polos penulis mereka adalah orang-orang mapan yang datang mencari hiburan dan sumringah sesaat setelah penat seharian. Tapi mengapa mereka masih ada waktu untuk meributkan hal yang bahkan tidak esensial dalam hidupnya?


Apakah Tubir Bisa Diakhiri?


Jika berbicara mengenai pertubiran secara general, mungkin akan terlihat sangat kompleks. Menurut penulis, hal ini akan melibatkan pembahasan terkait masalah literasi digital dan etika sopan santun di media sosial. Sebuah hal yang mungkin hampir tidak diajarkan di bangku sekolah. Mengingat sekarang bangku sekolah berdebu karena siswanya duduk lesehan sambil menatap layar, atau mungkin mendengarkan suara guru sambil membentuk pulau di permukaan bantal.


Kemungkinan lain, banyak orang-orang yang secara usia lebih tua namun tidak menunjukkan sisi bijaknya dalam menggunakan media sosial. Tanpa menyadari mengeluarkan ketika-ketikan sadis nan kejam tanpa dibekali pemahaman yang cukup atas informasi yang diterima. Yang membuat kesal, sebagian dari mereka kadang merasa serba tahu dan menolak untuk disalahkan padahal sumber berita mereka ya mungkin hanya grup Whatsapp. Kalau yang terakhir sih pengalaman pribadi, namun bukan orang tua saya tentunya. Dalam masalah tubir secara general, sepertinya dua paragraf ini tidak cukup menggambarkan situasinya.


Belum lagi orang-orang yang seringkali merespons dan menyebarkan dengan maksud untuk menyerang sesuatu yang dianggapnya tidak valid atau salah. Padahal dengan menyebarkan hal tersebut, malah menjadikannya semakin populer walau mungkin sebagian besar berisi hujatan. Hal semacam ini sering diteriakkan agar tidak dilakukan, tapi sama saja. Tiada hasil.


Namun, karena artikel ini menyempitkan pembahasan ke fandom grup idola ibukota, mungkin akan kita bahas sedikit. Menurut penulis sendiri, fanatisme bisa menjadi faktor besar mengenai munculnya keributan yang sebenarnya bisa saja sepele. Toh, keributan seperti ini akan berputar di lingkaran itu-itu saja, kecuali jika sudah deklarasi perang dengan opini awam atau fandom sebelah yang cenderung menyenggol.


Mungkin banyak fans yang masih mampu menahan diri untuk tidak berkomentar, namun yang terlihat dan dilihat oleh orang-orang adalah mereka yang bersuara. Terlepas apakah opini mereka disampaikan secara baik, ngawur atau bahkan tolol. Penulis meyakini, ini adalah perpaduan yang klop antara kurang bijaksana dalam bermedia sosial yang dipadukan dengan sikap “fanatik”. Sengaja diberi tanda kutip untuk menyampaikan maksud bahwa fanatik di sini tidak sampai ranah ekstrem, hanya saja sikap-sikap yang muncul memang mendekati hal tersebut.


Ungkapan cukup menarik yang pernah penulis temui di sebuah postingan yang membahas tentang risk management Pasca-Restrukturisasi, bahwa gambaran kondisi grup idola adalah cerminan dari keadaan negara tersebut. Jadi, apakah bentuk tubir fandom sendiri adalah bentuk cerminan dari suara yang seringkali diabaikan? Atau seharusnya kita berbicara tentang bagaimana seharusnya manusia bersikap?