Sosial media seringkali tidak lepas dari namanya keributan. Apapun masalahnya, mulai dari konteks umum seperti soal agama, politik, atau bahkan urusan-urusan sepele seperti bubur diaduk atau enggak, bakso pakai saus atau putihan, dan lain sebagainya. Tidak hanya pada ranah yang bersifat umum, sosial media juga memiliki “lingkaran-lingkaran” tertentu yang dibatasi oleh kesamaan cara pandang, minat, ataupun ketertarikan. Ini juga bisa masuk dalam pembahasan mengenai penggemar sebuah grup/idola tertentu, yang bahkan mereka bisa memiliki keributannya tersendiri.
Ya, ketika artikel ini ditulis, sebagaimana yang kalian tahu bahwa tidak ada pertunjukan teater selama pelaksanaan PPKM dan kegiatan menjadi sangat terbatas. Hari-hari yang sepi membuat orang-orang mulai mencari sesuatu, termasuk bagi orang-orang yang gabut untuk memancing keributan di tengah kebosanan akibat tiadanya kegiatan inti dari sebuah grup saudara dari Jepang satu ini. Lalu, bagaimana melihat fenomena geger geden dalam fandom ini?
Mengapa Budaya Ini Berkembang?
Anggapan mengenai penduduk Indonesia yang ramah memang patut untuk dibanggakan. Pada kenyataannya, warganet Indonesia memiliki kultur yang bertolak belakang dengan dunia nyata. Contoh yang paling sering terjadi adalah kebiasaan menyelam ke postingan lama orang yang “diserang”. Jika berbicara di ranah Twitter, mungkin biasanya warganet akan mencari sesuatu di tab likes. Bisa jadi kan menemukan sumber link baru yang bisa dijadikan bahan perundungan. Bisa juga tweet lawasnya yang bisa saja akan menjadi bumerang untuk pihak yang dilawan. Hal tersebut juga bisa dilakukan di platform lain semisal Instagram atau Facebook.
Atau juga yang sering dilakukan adalah doxing. Kebiasaan membuka data pribadi yang dianggap dapat membungkam pihak yang dilawan. Dengan memanfaatkan celah keterbukaan data yang kebablasan di negeri ini, para stalker dapat menemukan data-data sensitif secara mudah. Mulai dari domisili tempat tinggal, tempat kerja atau sekolah, hingga nama keluarga yang tidak ada sangkut paut dengan kasusnya.
Sosial media memang seringkali dianggap sebagai ranah pribadi yang bisa saja menganggap bahwa media sosial adalah tempatnya untuk menemukan kebebasan untuk menyampaikan apapun. Sayangnya, hal tersebut tidak diiringi dengan sikap bijaksana, bahkan berdalih kebebasan pendapat jika “diserang”.
Jika berbicara karakteristik pengguna Twitter, yang seringkali memunculkan mula topik pertubiran, terlihat berbeda jika dibandingkan dengan pengguna platform media sosial lainnya. Namun, kebanyakan jika di Twitter, pengguna ingin menunjukkan sisi personalnya yang tidak ingin dilihat jika dibandingkan dengan Facebook ataupun LinkedIn.
Ekspektasi bahwa orang Indonesia dikenal sebagai orang-orang ramah akan runtuh seketika jika pernah berhadapan dengan warganet Indonesia. Microsoft, melalui risetnya juga menilai bahwa warganet Indonesia dianggap tidak sopan bahkan menjadi juara di regional Asia Tenggara. Dengan akun yang menunjukkan sisi lain dan kadang juga bersifat anonim, mereka seringkali mengomentari hal-hal yang tidak disukai dengan “lantang”. Mungkin dengan faktor anonim ataupun jarak yang membuat pemilik akun tersebut merasa aman.
Dengan kultur warganet yang demikian, beberapa orang memanfaatkan hal tersebut sebagai salah satu cara untuk meningkatkan pamor dan popularitas mereka ataupun pihak yang mereka bawa. Di kalangan fans, mungkin dari situ mereka berharap waro dari member atau staf agar mereka terlihat dan dikenal. Warganet mungkin akan membenci dan menghujat habis-habisan pihak yang dirundung, namun percakapannya bisa memicu pembahasan yang akan menaikkan engagement dari pihak yang dirundung.
Misalkan dalam kasus bentrok daring yang baru saja terjadi. Seorang anggota grup, sebut saja A, diketahui berpacaran dengan B, yang dimana diketahui si B bekerja pada perusahaan yang melarang anggotanya untuk memiliki hubungan percintaan. Suatu saat, foto keduanya tersebar dan menjadi perbincangan di lingkaran tertentu. Karena melibatkan A, tentu saja A akan terseret dan merembet hingga ke tempat kerjanya.
Tempat kerja si A tersebut, mungkin dengan cerdiknya, memanfaatkan trafik yang melonjak tiba-tiba itu dengan mempromosikan apa yang ia punya. Tentu saja, dengan cara tersebut mereka akan terciprat trafik yang memanfaatkan kata kunci yang ramai tersebut. Bisa juga, ketika pihak yang terkait dengan B dengan asyiknya “merujak” konten yang dianggapnya penuh kebohongan juga dapat menjadikan pembahasannya lebih luas dan berdampak pada banyaknya orang yang tahu soal A dan tempat kerjanya.
Dampaknya? Followers dan engagement akun akan naik, dan tentu saja akan mengundang uang melalui kerjasama atau endorsement yang menghampiri. Yang rugi menghujat siapa, yang untung secara popularitas dan pendapatan juga siapa.
Ada yang beranggapan bahwa salah satu indikator popularitas adalah dengan tersebarnya isu skandal dari sumber yang tidak jelas.
Bentar, bukankah itu kejadian nyata? Hehe...
“Wota” sebagai Gambaran Kecil Warganet Indonesia
Hal pertama yang disoroti penulis pertama kali adalah bagaimana ketika orang-orang di dalam lingkup ini sering menyerang ke personal yang ingin menyampaikan pandangannya. Semisal, saat seseorang menyampaikan pendapatnya mengenai benefit MVP Online atau fans baru jalur FYP yang dianggap “rusuh”, sikap yang terjadi malah serangan balik tanpa menggunakan argumen yang valid.
Kebanyakan yang muncul malah hal-hal yang menyimpang dari logika, cenderung sebagai logical fallacy. Mulai dari ad hominem (menyerang dengan hal-hal negatif), red herring (pengalihan pembahasan), dan lain sebagainya. Menyerang secara no mention ini juga merupakan contoh dari bagaimana sebagian oknum di fandom ini menyerang personal yang dianggapnya berbeda pandangan. Penulis rasa fanatisme ini pasti akan menimbulkan hal-hal semacam ini. Contoh ini tidak hanya terlihat di fandom-fandom grup idola, orang-orang di luar sana yang fanatik pada seorang tokoh ataupun suatu pandangan juga melakukan hal yang sama.
Dari pengamatan penulis, di dalam fandom juga sering meributkan hal-hal sepele semacam akun anonim yang menghujat grup atau idola. Lucunya, akun-akun pemantik keributan yang seharusnya tidak perlu direspons malah diberi lapak dan menjadi bahan rujakan. Dan ini terjadi sudah cukup lama. Beberapa orang berpikir, seharusnya hal tersebut dibiarkan saja sehingga tidak akan memicu keributan. Namun, ada beberapa faktor yang membuat penulis berpikir bahwa keributan ini terkadang ‘diperlukan.’
Contoh paling segar adalah fenomena sebuah akun Instagram yang sering menjadi bahan perbincangan di fandom. Bukankah akun itu sering diserang karena selalu mengedepankan idealismenya dalam konsep idola menurut pandangannya? Keramaian itu muncul ketika banyak orang merespons dan membicarakannya di media sosial sebelah.
Masalah semakin runyam ketika muncul ketidakpercayaan. Saat akun tersebut memantik ketidakpercayaan tersebut dengan isu skandal. Apa tidak terbakar linimasa di akun-akun fandom? Salah satu pemicunya memang ketidakpercayaan, namun mencoba ‘memusnahkan’ mereka juga tidak menyelesaikan masalah. Apakah sesuatu akan diselesaikan dengan “viral-based policy” saja? Ketika sebuah keputusan diambil hanya berdasarkan keributan yang terjadi di khalayak. Soal ini, penulis memilih untuk hanya mengamati saja, tidak mau banyak berkomentar.
Pemantik keributan juga tidak hanya dari kalangan penggemar atau pembenci saja. Kadang juga para membernya sendiri lah yang memicu keributan. Hal yang jamak terjadi adalah tentang “suara” yang mereka keluarkan di media sosial. Mulai dari cuitan yang dianggap menyinggung fans yang menonton langsung di teater sampai kasus si pelupa yang dianggap memiliki fanservice buruk. Staf pun terkadang tidak menunjukkan sikap yang baik walaupun di akun pribadi mereka. Mulai dari menganggap biasa ‘tubir’ tanpa introspeksi hingga merendahkan fans. Hal tersebut juga berlaku ke mantan member. Walaupun telah lulus/keluar, biasanya kalangan fansnya juga masih pada lingkup yang sama, sehingga ketika eks-member “ditubir”, tentu saja yang panas ada di linimasa fandom “almamater”-nya.
Belum lagi kebiasaan buruk dalam merespons komentar negatif. Komentar negatif malah cenderung dinaikkan dan seolah menunjukkan bahwa mereka juga turut menjual kesedihan. Bukannya mendapat simpati, kebanyakan respons yang muncul adalah hujatan. Tidak sepenuhnya salah, tapi menurut penulis itulah sumber masalahnya. Jika tidak direspons, mungkin ksatria papan ketik itu akan bosan dan berhenti menulis di kolom komentar.
Selain hal-hal yang disebutkan di atas, terkadang tingkah laku oknum ini juga membahayakan. Semisal terkait rating buruk di akun toko resmi yang disebabkan karena Birthday T-shirt dari member yang punya skandal. Jika menilik sistem kerja e-commerce tersebut, hal tersebut beresiko mematikan toko yang bahkan tidak bersalah apa-apa dan mengakibatkan salah satu pundi cuan manajemen akan hilang. Pernahkah terpikir sampai di sini?
Selain itu, ada juga yang salah dalam melampiaskan emosinya. Ada yang serangan dan hujatan mengenai skandal malah salah arah ke eks-member yang sudah lama lulus atau orang awam yang bahkan tidak mengerti apa-apa mengenai keributan yang terjadi. Mirip sekali dengan gambaran warganet kita dalam melihat sebuah peristiwa dan langsung saja menyerang padahal tidak ada hubungan apapun. Ini mirip kasus pimpinan sebuah startup yang menjadi pelaku tabrakan namun salah arah dalam menyerang rating aplikasi yang tidak ada kaitannya. Penulis lupa persisnya itu kapan dan siapa.
Menariknya, ketika fandom ini berulang kali mengalami perpecahan dengan keributan internalnya, mereka justru dengan mudah bersatu ketika menghadapi “musuh” dari luar. Mulai dari kasus dokter yang berkomentar soal pedofil, serangan publik terhadap kelakuan eks-member, hingga kasus skandal dengan grup sebelah. Belum lagi jika fanbase memiliki project merayakan sesuatu untuk oshimen mereka. Entah itu show, birthday project, sampai graduation. Selain itu, mereka juga sering menaikkan trending yang terkesan seperti guyonan belaka. Mulai dari candaan Twitter Space sampai menyemangati fans yang tidak diingat oshi. Oiya, belum lagi kebiasaan menjadikan tweet yang dihujat menjadi template di tweet mereka.
Maka tak heran jika ada istilah “fandom yang tak pernah tidur” yang mempresentasikan bahwa selalu saja ada hal yang dibahas setiap hari. Terkadang penulis heran, ketika ngidol di fandom ini bisa menghabiskan uang yang tidak sedikit, tentu pandangan polos penulis mereka adalah orang-orang mapan yang datang mencari hiburan dan sumringah sesaat setelah penat seharian. Tapi mengapa mereka masih ada waktu untuk meributkan hal yang bahkan tidak esensial dalam hidupnya?
Apakah Tubir Bisa Diakhiri?
Jika berbicara mengenai pertubiran secara general, mungkin akan terlihat sangat kompleks. Menurut penulis, hal ini akan melibatkan pembahasan terkait masalah literasi digital dan etika sopan santun di media sosial. Sebuah hal yang mungkin hampir tidak diajarkan di bangku sekolah. Mengingat sekarang bangku sekolah berdebu karena siswanya duduk lesehan sambil menatap layar, atau mungkin mendengarkan suara guru sambil membentuk pulau di permukaan bantal.
Kemungkinan lain, banyak orang-orang yang secara usia lebih tua namun tidak menunjukkan sisi bijaknya dalam menggunakan media sosial. Tanpa menyadari mengeluarkan ketika-ketikan sadis nan kejam tanpa dibekali pemahaman yang cukup atas informasi yang diterima. Yang membuat kesal, sebagian dari mereka kadang merasa serba tahu dan menolak untuk disalahkan padahal sumber berita mereka ya mungkin hanya grup Whatsapp. Kalau yang terakhir sih pengalaman pribadi, namun bukan orang tua saya tentunya. Dalam masalah tubir secara general, sepertinya dua paragraf ini tidak cukup menggambarkan situasinya.
Belum lagi orang-orang yang seringkali merespons dan menyebarkan dengan maksud untuk menyerang sesuatu yang dianggapnya tidak valid atau salah. Padahal dengan menyebarkan hal tersebut, malah menjadikannya semakin populer walau mungkin sebagian besar berisi hujatan. Hal semacam ini sering diteriakkan agar tidak dilakukan, tapi sama saja. Tiada hasil.
Namun, karena artikel ini menyempitkan pembahasan ke fandom grup idola ibukota, mungkin akan kita bahas sedikit. Menurut penulis sendiri, fanatisme bisa menjadi faktor besar mengenai munculnya keributan yang sebenarnya bisa saja sepele. Toh, keributan seperti ini akan berputar di lingkaran itu-itu saja, kecuali jika sudah deklarasi perang dengan opini awam atau fandom sebelah yang cenderung menyenggol.
Mungkin banyak fans yang masih mampu menahan diri untuk tidak berkomentar, namun yang terlihat dan dilihat oleh orang-orang adalah mereka yang bersuara. Terlepas apakah opini mereka disampaikan secara baik, ngawur atau bahkan tolol. Penulis meyakini, ini adalah perpaduan yang klop antara kurang bijaksana dalam bermedia sosial yang dipadukan dengan sikap “fanatik”. Sengaja diberi tanda kutip untuk menyampaikan maksud bahwa fanatik di sini tidak sampai ranah ekstrem, hanya saja sikap-sikap yang muncul memang mendekati hal tersebut.
Ungkapan cukup menarik yang pernah penulis temui di sebuah postingan yang membahas tentang risk management Pasca-Restrukturisasi, bahwa gambaran kondisi grup idola adalah cerminan dari keadaan negara tersebut. Jadi, apakah bentuk tubir fandom sendiri adalah bentuk cerminan dari suara yang seringkali diabaikan? Atau seharusnya kita berbicara tentang bagaimana seharusnya manusia bersikap?